BUDIDAYA IKAN JELAWAT
I.
PENDAHULUAN
Jaminan penyediaan benih dalam kualitas
dan kuantitas yang memadai merupakan salah satu syarat yang dapat menentukan
keberhasilan budidaya ikan. Banyak jenis dan ragam ikan yang mempunyai nilai
ekonomis telah dikembangkan baik ditingkat pembenihan atau pembesaran.
Menurut
Schmittou (1991), lebih dari 20.000 species ikan yang diketahui di dunia, hanya
sekitar 20 sampai 25 spesies ikan saja yang dibudidayakan secara komersial
untuk makanan manusia. Boleh
jadi masih terdapat ratusan atau bahkan ribuan species yang sangat potensial
untuk dibudidayakan akan tetapi masih belum diketahui teknologinya. Di Asia
Tenggara species yang sudah umum dibudidayakan adalah Ikan Mas (Cyprinus
carpio), Grass carp (Ctenopharyngodon idellus), Ikan Nila (Tilapia
niloticus), Ikan Mujair (Tilapia mossambicus), Gourami (Osphronemus
gouramy), Ikan Lele (Clarias macrocephalus), Silver carp (Hypopthalmichthys
molitrix) dan Bighead carp (Aristichthys nobilis).
Sedangkan
di Indonesia menurut Anonim (1998), jenis-jenis ikan yang telah dibudidayakan
secara komersial oleh masyarakat adalah ikan mas, ikan nila, ikan lele, ikan
gurami, udang dan patin. Kalau memperhatikan jenis-jenis ikan budidaya tersebut
maka ikan jelawat masih belum termasuk ikan budidaya yang diusahakan secara
komersial.
Ikan jelawat (Leptobarbus hoeveni Blkr) merupakan ikan asli perairan Indonesia terutama
terdapat di sungai, danau dan perairan umum lainnya di Kalimantan dan Sumatera.
Permintaan pasar terhadap ikan ini cukup tinggi dan mempunyai nilai ekonomis
tinggi dan sangat digemari oleh masyarakat dan dibeberapa negara tetangga
seperti Malaysia dan Brunei, sehingga merupakan komoditas yang sangat potensial
dan mendorong minat masyarakat untuk mengembangkannya. Terlebih lagi produksi
ikan yang lebih mengandalkan hasil penangkapan perairan umum cenderung labil
dan sudah ada kecendrungan di beberapa tempat terjadi penurunan.
Meskipun telah lama berkembang dan
pemeliharaan ikan jelawat cukup memasyarakat, namun benih ikan sebagai faktor
produksi utama sementara ini lebih mengandalkan dari hasil penangkapan di alam.
Di alamnya ikan ini berkembang biak di sungai pada permulaan musim penghujan,
yang berarti pasokan benih tersedia secara musiman. Sedangkan benih dari hasil
budidaya masih terbatas jumlahnya sehingga belum bisa memenuhi kebutuhan benih
yang terus meningkat.
Masalah
yang pokok dari budidaya ikan jelawat ini adalah teknologi pembenihannya yang
masih belum diketahui. Jika teknologi pembenihannya bisa dikuasai maka budidaya
ikan jelawat akan dapat menjadi salah satu alternatif budidaya ikan di
Indonesia. Seperti telah disinggung diatas permintaan pasar terhadap ikan jelawat ini cukup
besar, mempunyai nilai ekonomis yang tinggi dan sangat digemari oleh masyarakat
termasuk dibeberapa negara tetangga seperti Malaysia dan Brunei. Karena itu ikan
jelawat ini merupakan komoditas yang sangat potensial, yang akan segera
mendorong minat masyarakat untuk mengembangkan budidayanya sebagai sebuah
alternatif usaha jika benihnya bisa diproduksi secara massal dan berkesinambungan
melalui penguasaan teknologi pembenihannya. Selain itu, dari penguasaan
teknologi pembenihannya kita dapat sekaligus melakukan upaya pelestarian plasma
nuftah ikan asli perairan Indonesia.
II.
ASPEK BIOLOGI
A. 
Taksonomi


Webert & Beauport (1981) di dalam
Onadara dan Sunarno (1988) mengklasifikasikan ikan jelawat sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Subphylum : Vertebrata
Kelas : Pisces
Subkelas : Teleotei
Ordo : Ostariophysi
Subordo : Cyprinoidae
Famili : Cyprinidae
Subfamili : Cyprinidae
Genus : Leptobarbus
Spesies :
Leptobarbus hoeveni Blkr
Sedangkan nama lokal di Jambi,
Sumatera Selatan dan Lampung yaitu Lemak atau Klemak. Manjuhan di Kalimantan
Tengah, Sultan di Malaysia dan Pla Ba di Thailand. Namun saat berukuran kecil
antara 10-20 cm dinamakan Jelejar di Jambi, Sumatera Selatan dan Lampung. Nama
dagang internasionalnya adalah hoven’s carp.
B. Morfologi
Dilihat dari segi morfologi bentuk
tubuh ikan jelawat yang agak bulat dan memanjang, mencerminkan bahwa ikan ini termasuk
perenang cepat. Kepala sebelah atas agak mendatar, mulut berukuran sedang,
garis literal tidak terputus, bagian punggung berwarna perak kehijauan dan bagian
perut putih keperakan. Pada sirip dada dan perut terdapat warna merah, gurat
sisi melengkung agak ke bawah dan berakhir pada bagian ekor bawah yang berwarna
kemerah-merahan serta mempunyai 2 pasang sungut. Di alam ikan jelawat dapat
mencapai berat 15 kg atau lebih perekornya (Anonim, 2004).

Gambar 1. Ikan
Jelawat (Leptobarbus hoeveni Blkr)
C. Habitat
Dijelaskan oleh Atmaja Hardjamulia (1992), ikan
jelawat banyak ditemui di muara-muara sungai dan daerah genangan air kawasan
tengah hingga hilir. Habitat yang disukainya adalah anak-anak sungai yang
berlubuk dan berhutan di bagian pinggirnya. Untuk anakannya banyak dijumpai di
daerah genangan, dari Daerah Aliran Sungai (DAS). Saat air menyusut, anakan
ikan jelawat secara bergeromol beruaya ke arah bagian hulu dari sungai.
Di Indonesia ikan jelawat tersebar
di perairan-perairan sungai dan daerah genangan atau rawa di Kalimantan dan
Sumatera. Penyebarannya juga merata di kawasan Asia Tenggara seperti Vietnam,
Thailand, Malaysia dan Kamboja.
D. Pakan dan Kebiasaan Makan
Secara umum ikan jelawat bersifat
omnivora atau pemakan segala. Namun sebenarnya ia lebih cenderung herbivora. Vaas, Sachlan dan Wirraatmaja dalam
Atmaja Hardjamulia (1992) menyebutkan, di dalam usus ditemukan
biji-bijian, buah-buahan dan tumbuhan air. Sedang di dalam usus benih jelawat
ditemukan berbagai jenis plankton, algae dan larva serangga air.
Dalam lingkungan pemeliharaan yang
terkontrol, ikan jelawat juga menyantap makanan buatan berbentuk pellet. Bahkan
mau memakan singkong, daun singkong dan usus ayam.
Dari bentuk mulut dapat diketahui
ikan jelawat menyenangi makanan yang melayang. Cara makannya dengan menyambar
meski terkadang gerakannya dalam mengambil makanan agak lambat. Namun demikian
jenis ikan ini biasa pula mengambil makanan yang berada di dasar perairan
(Anonim, 2007).
E.
Tingkat Kematangan
Gonad dan Reproduksi
Salah
satu faktor penunjang keberhasilan pemijahan adalah tersedianya induk yang
matang gonad. Induk tersebut dapat diperoleh dengan dua cara, cara pertama
ialah dengan menangkapnya di alam pada saat musim pemijahan. Cara kedua adalah
dengan memelihara di kolam secara terkontrol. Cara pertama biasanya faktor
keberhasilannya rendah. Hal tersebut disebabkan oleh pengaruh stress dari ikan,
apalagi ikan jelawat bersifat agresif
sehingga pada waktu ditangkap dapat menimbulkan kerusakan fisik (Hardjamulia,
1992).
Beberapa
persyaratan yang harus diperhatikan menyangkut kondisi induk ikan jelawat agar
dapat dipijahkan dengan baik yaitu kematangan gonad dari ikan yang siap
dipijahkan, biasanya mulai berumur 2,5 tahun, kondisi ikan sehat tanpa ada luka
atau cacat. Biasanya induk ikan sudah siap dipijahkan setelah 3-6 bulan dalam
kondisi pemeliharaan secara terkontrol dan intensif (Kristanto, 1994).
III.
METODE PEMBENIHAN
A.
Rancang Bangun

Rancang bangun pembenihan ikan
memerlukan beberapa pertimbangan, yaitu lokasi bangunan dan bentuk bangunan.
v Pemilihan lokasi
Dalam melakukan pemilihan lokasi
haruslah memperhatikan faktor-faktor teknis maupun nonteknis seperti sosial
ekonomis. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari kerugian akibat salah penilaian
saat melakukan pemilihan lokasi, misalnya debit air tidak mencukupi saat musim
kemarau atau mengalami kebanjiran saat musim penghujan (Anonim, 2007).
1.
Persyaratan lokasi perkolaman
Untuk budidaya ikan, kolam mempunyai
peranan yang sangat penting karena selain sebagai media pemeliharaan ikan juga
sebagai media tumbuhnya pakan alami yang dibutuhkan ikan.
Beberapa
persyaratan lokasi perkolaman meliputi:
-
Sumber
air ; dekat dengan sungai, irigasi atau sumber air lainnya sehingga mendapat
suplai air sepanjang tahun.
-
Kondisi
tanah ; berpotensi menumbuhkan pakan alami yaitu tanah liat sedikit berpasir
dan tidak poros.
-
Kedalaman
air ; minimal kedalaman air 80-100 cm.
-
Lingkungan
; bebas dari pencemaran, dilengkapi dengan prasarana jalan, listrik, terjamin
keamanan dan mudah untuk pemasaran hasil.
2.
Persyaratan lokasi di karamba
Budidaya ikan sistem karamba
bertitik tolak dari kurangnya lahan kolam untuk budidaya dan sekaligus sebagai
upaya optimalisasi pemanfaatan perairan umum untuk usaha budidaya.
Selain ditempatkan di sungai,
karamba juga dapat ditempatkan di danau, waduk atau perairan umum lainnya. Akan
tetapi tetap harus memperhatikan persyaratan lokasi agar menjamin usaha
budidaya yang dilakukan dapat menguntungkan.
Persyaratan lokasi
penempatan karamba yaitu:
-
Kondisi
perairan
Perairan
umum yang bebas dari pencemaran dan aman dari adanya kemungkinan banjir bandang
yang bisa menghanyutkan karamba. Kedalaman air minimal 1 m saat surut terendah,
cukup sinar matahari, arus air cukup deras atau mengalir dan terbebas dari
gulma atau sampah.
-
Lingkungan
Mudah
dalam transportasi, aman dari pencurian dan pemangsa ikan, dekat dengan pasar
atau mudah dalam pemasaran hasil (Anonim, 2007).
-
Faktor
sosial
Faktor sosial harus juga
diperhatikan terutama di sekeliling bangunan pembenihan ikan. Yang perlu
diperhatikan adalah tingkat pendidikan masyarakat, pendapatan atau pekerjaan
masyarakat dan status tanah (Angin, 2003).
v Bentuk bangunan
Menurut
Angin (2003), usaha pembenihan
ikan membutuhkan beberapa macam bangunan yang masing-masing mempunyai fungsi
yang berbeda-beda. Bangunan utama adalah bangunan yang khusus untuk kegiatan
operasional pembenihan ikan. Bangunan utama terdiri atas bak penampungan air,
bak penampungan induk, bak penetasan telur, bak pemeliharaan larva, bak
pemeliharaan benih dan bak penyediaan pakan alami. Pada bangunan utama juga
terdapat ruangan administrasi tempat pencatatan semua kegiatan operasional
pembenihan ikan.
Bangunan
utama harus ditata sedemikian rupa sehingga letak setiap bak teratur dan
efisien dalam operasional kegiatan pembenihan. Berikut ini ada alternatif tata
letak bangunan pembenihan ikan (Kiswaloejo, 2003).

Gambar 2. Tata Letak Bangunan Pembenihan
Ikan (Hatchery)
a. Bangunan penunjang, yakni bangunan yang
mendukung kegiatan operasional. Bangunan ini terdiri atas bangunan laboratorium
dan gudang. Bangunan laboratorium sebagai tempat pengamatan hama atau penyakit
ikan dan analisis kualitas air. Alat-alat yang tersedia pada bangunan ini
adalah alat bedah ikan, mikroskop, bahan kimia dan sebagainya. Gudang berfungsi
untuk menyimpan peralatan kegiatan pembenihan ikan ikan seperti ember, hapa,
selang, seser dan sebagainya.
b. Bak penampungan air, yakni bak untuk
menampung air bersih. Selama kegiatan pembenihan ikan, air bersih harus
tersedia. Bak penampungan air dapat terbuat dari bak semen atau fiberglas. Luas
bak penampungan air disesuaikan dengan kebutuhan. Bak penampungan air
ditempatkan sedimikian rupa sehingga memudahkan pengoperasian. Bak penampungan
induk berfungsi untuk menampung induk yang akan dipijahkan.
c. Bak penetasan, yakni bak yang berfungsi untuk
menetaskan telur ikan jelawat. Penetasan telur yang terbuat dari akuarium lebih
menghemat tempat karena dapat disusun secara bertingkat. Bak penetasan telur
dapat dijadikan sekaligus sebagai tempat pemeliharaan larva ikan jelawat.
d. Bak pemeliharaan benih, yakni bak yang
digunakan untuk pemeliharaan ikan jelawat. Bak pemeliharaan benih biasanya
terbuat dari semen atau fiberglass. Bak pemeliharaan benih dapat dibuat dengan
ukuran tinggi 0,3 m, lebar 1 m dan panjang 2 m atau tergantung pada kebutuhan.
Jumlah bak pemeliharaan benih perlu didesain dengan baik agar rotasi kegiatan
pembenihan dapat berjalan secara terus-menerus. Setiap ukuran benih ikan
jelawat ditempatkan pada bak tersendiri.
e. Bak pakan alami, yakni bak yang berfungsi
untuk budidaya pakan alami. Bak pakan alami ini terdiri atas corong penetasan
artemia. Corong penetasan artemia terbuat dari plastik atau fiberglas. Bentuk
corong penetasan artemia adalah trapesium dan bagian bawah corong dipasangi
keran.
B. Penyediaan
Induk
Keberhasilan
pengembangan budidaya ikan sangat ditentukan antara lain oleh pasok benih baik
dari segi kualitasnya maupun kuantitasnya. Sedangkan kualitas benih dipengaruhi
oleh kualitas induk (faktor genetis) dan faktor lingkungan, seperti kualitas
air, makanan, penyakit dan parasit.
Peningkatan
kualitas induk melalui peningkatan sifat genetis dapat dilakukan melalui
seleksi calon-calon induk. Di samping itu, pengelolaan induk dalam suatu usaha
pembenihan (BBI atau hatchery) sangat menentukan mutu benih yang dihasilkan,
antara lain menyebabkan silang dalam (in breeding) yang menghasilkan keturunan
yang rendah kualitasnya, terutama pertumbuhan yang lambat (Hardjamulia, 1988).
Akibat silang dalam produksi dapat menurun sampai 10-20 %.
Penyediaan
induk dapat dilakukan dengan cara seleksi terhadap stok induk yang ada,
menangkap dari alam dan membekali dari tempat lain atau impor, dan dengan cara
gynogenesis.
Untuk calon induk jelawat dapat
diperoleh dari hasil tangkapan di alam atau dari hasil pembesaran di kolam atau
karamba. Pada kondisi pemeliharaan secara tradisional atau hasil tangkapan di
alam bobot calon induk lebih dari 1,5 kg diperkirakan mempunyai umur sekitar 3
tahun. Akan lebih baik jika
calon induk yang dipilih dari hasil pembesaran karena sudah terbiasa dengan
kondisi makanan dari luar dalam lingkungan yang terkontrol dan biasanya lebih
jinak. Calon induk minimal mempunyai berat 2,5 kg untuk betina dan 1,5 kg untuk
jantan atau berumur minimal 2,5 tahun (Kristanto, 1994).
C. Pematangan
Gonad
Untuk
proses pematangan gonad pada ikan perlu diadakan pengelolaan induk. Pengelolaan induk adalah pemeliharaan induk
secara intensif agar menghasilkan benih sesuai dengan permintaan pasar.
Pengelolaan induk di antara para petani sangat bervariasi, bergantung dari
pengetahuan, pengalaman, dan sosial ekonomi mereka (Hardjamulja, 1975).
Ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan dalam pengelolaan induk, yaitu kualitas air, wadah
pemeliharaan, padat penebaran, kualitas dan jumlah makanan.
1.
Kualitas Air
Hasil
penelitian tentang pengaruh kualitas air terhadap kualitas induk (fekunditas
dan kualitas telur) masih langka. Hasil penelitian yang ada hanya mengenai
pengaruh oksigen terhadap jumlah telur yang diproduksi. Induk yang dipelihara
dalam konsentrasi oksigen 5 mg/l menghasilkan jumlah telur dan frekuensi
pemijahan tinggi (Hardjamulja, 1987).
2.
Wadah Pemeliharaan
Calon
induk dapat dipelihara di dalam kolam biasa, kolam air deras, bak, jaring
terapung dan karamba. Calon induk jelawat dapat dipelihara di kolam permanen
atau semi permanen dengan kedalaman air berkisar antara 70-100 cm dengan sistem
air mengalir dan di karamba.
3.
Padat Penebaran
Padat
penebaran tergantung dari jenis ikan, kualitas air dan makanan yang tersedia.
Pada cara tradisional yang ekstensif, baik untuk jenis-jenis ikan asli maupun introduksi,
padat penebaran berkisar antara 10-20 ekor induk (Hardjamulja, 1980).
Padat
penebaran yang ideal untuk calon induk jelawat yang dipelihara di kolam adalah
1 ekor/10 m2. Sedangkan pemeliharaan calon induk di karamba tingkat
kepadatan 1-2 ekor/m2.
4.
Kualitas dan Jumlah Makanan
Jumlah
makanan yang cukup dengan mutu yang baik merupakan pakan faktor yang paling
penting untuk memproduksi induk yang memiliki kualitas prima. Defisiensi
nutrien esensial terutama asam amino, vitamin, dan mineral menyebabkan perkembangan
telur terhambat dan akhirnya terjadi kegagalan ovulasi (Waynarovich dan
Horvath, 1980). Pertumbuhan gonad terjadi jika terdapat kelebihan energi untuk
pemeliharaan tubuh (Elliot, 1979). Sedangkan kekurangan energi dapat
meningkatkan oosit yang mengalami atresia sehingga mernpunyai oosit yang matang
(Wootton, 1979).
Pakan
yang diberikan berupa pakan pellet dengan kandungan protein 25-28 % dan dosis
3-5 % dari bobot biomassa dengan frekuensi pemberian pakan 3 kali sehari, yaitu
diberikan pada pagi, siang dan sore hari (Kristanto, 1994).
D. Seleksi
Induk
Tujuan
dari seleksi induk adalah untuk mendapatkan induk yang mempunyai produktivitas
tinggi dengan ciri morfologi yang dikehendaki dan dapat diturunkan.
Produktivitas yang tinggi ini terutama dicirikan oleh sifat cepat tumbuh dan
kelangsungan hidup yang tinggi pada lingkungan budidaya tertentu (kolam
tradisional, kolam air deras, jaring terapung dan sebagainya dengan ciri
lingkungan, khususnya kualitas air yang berbeda). Ada dua metode seleksi induk, yaitu seleksi
masa dan seleksi famili (Sutisna dan Ratno, 1995).
1.
Seleksi Masa
Seleksi
masa ataupun seleksi individu merupakan seleksi buatan terhadap keturunan hasil
pemijahan induk-induk yang mempunyai fenotipe yang terbaik (Kirpichnikov,
1981). Sifat-sifat yang diseleksi meliputi bobot atau ukuran, keragaman luar,
pigmentasi, keadaan sisik, tidak cacat, ketahanan terhadap lingkungan dari
penyakit, jumlah tulang dalam otot, ukuran gelembung renang, dan lain-lain.
Kemungkinan kesalahan dalam memperoleh sifat yang diharapkan sungguh besar
karena genotipe dari ikan yang diseleksi atau yang tidak diseleksi tidak
diketahui.
2.
Seleksi Famili
Seleksi
ini dilakukan untuk memperoleh beberapa famili yang merupakan keturunan dari
pasangan-pasangan induk atau kelompok pasangan dalam jumlah kecil (misalnya
satu betina dengan beberapa jantan) yang merupakan hasil seleksi terbaik dari
sifat-sifat yang dikehendaki.
Biasanya
induk ikan jelawat sudah siap dipijahkan setelah 3-6 bulan dalam kondisi
pemeliharaan secara terkontrol dan intensif. Penangkapan induk dilakukan dengan
menurunkan permukaan air hingga sebatas punggung ikan. Dengan cara ini induk
relatif lebih tenang dan tidak agresif sehingga mudah untuk dilakukan
pemeriksaan gonad.
Ciri-ciri
induk yang matang gonad adalah sebagai berikut.
§
Betina:
ü
Perut
membesar dan lembut
ü
Lubang
urogenital berwarna kemerahan
ü
Sirip
dada halus dan licin
§
Jantan:
ü
Perut
langsing
ü
Apabila
diurut akan keluar cairan putih (sperma)
ü Sirip dada terasa lebih kasar bila diraba (Anonim, 2004).

Gambar 3. Induk
Betina Matang Gonad
Induk
matang gonad hasil seleksi ditimbang untuk mengetahui beratnya, sehingga dosis
hormon dalam penyuntikan dapat ditentukan. Induk kemudian ditampung dalam bak
berukuran 1 x 1 m untuk proses penyuntikan.
E. Pemijahan
Pemijahan adalah proses pengeluaran
sel telur oleh induk betina dan sperma oleh induk jantan yang kemudian diikuti
dengan perkawinan. Pemijahan sebagai salah satu pacet dari reproduksi merupakan
mata rantai siklus hidup yang menentukan kelangsungan hidup species. Penambahan
populasi ikan tergantung dari kondisi tempat telur dan larva ikan kelak akan
berkembang. OIeh karena itu, pemijahan menuntut keamanan bagi kelangsungan
hidup larva/benih ikan, tempat yang cocok, waktu yang tepat dan kondisi yang lebih
menguntungkan.
Pemijahan tiap species ikan
mempunyai kebiasaan yang berbeda, tergantung pada habitat dan pemijahan itu
untuk melangsungkan prosesnya. Dalam keadaan normal ikan melangsungkan
pemijahan minimum satu kali dalam satu siklus hidupnya.
Di habitatnya di alam, ikan jelawat
biasanya melakukan pemijahan pada musim penghujan, yaitu saat air naik dan
menggenangi daerah sekitarnya. Dalam kondisi demikian, secara bergerombol ikan
jelawat beruaya ke arah muara sungai. Di bagian muara sungai tersebut pemijahan terjadi biasanya pagi hari diiringi
rintikan air hujan.
Selama musim penghujan ikan jelawat
mampu memijah 2-3 kali pemijahan. Telur ikan jelawat bersifat melayang. Telur
yang dibuahi tersebut dibawa arus ke bagian hilir dan menetas dalam perjalanan
tersebut. Telur yang menetas dan menjadi larva tersebut memasuki perairan atau daerah genangan yang berada
disepanjang sungai tersebut.
Pemijahan ikan jelawat dilakukan secara
buatan (Induced Breeding). Pemijahan ikan dengan rangsangan hormon pada
umumnya dilakukan terhadap jenis ikan yang tidak bisa memijah secara alami. Hal
ini disebabkan oleh kondisi lingkungan tidak cukup untuk merangsang kerja
hipothalamus dari ikan matang gonad untuk mengeluarkan luteneizing hormon
releasing hormon (LHRH) yang akan merangsang kelenjar hifofisa untuk
menghasilkan lebih banyak gonadotropin. Oleh karena itu pemijahan secara
terkontrol membutuhkan penambahan hormon gonadotropin dari luar melalui
penyuntikan.
v
Penguasaan Teknik Kawin Suntik
Menurut
Susanto (1997), penguasaan teknik kawin suntik akan mempengaruhi keberhasilan
kegiatan pemijahan ini. Meskipun resipien telah siap dan peralatan lengkap,
tetapi jika tidak didukung teknik penguasaan teknik pelakunya maka keberhasilan
kawin suntik masih diragukan. Penguasaan teknik kawin suntik ini meliputi
beberapa keterampilan berikut.
a. Teknik
memilih induk
b. Teknik
menghitung dosis
c. Teknik
menyuntik
d.
Teknik melakukan stripping
Dukungan
lingkungan seperti tersedianya air bersih yang berkualitas baik dan jumlah yang
cukup juga akan mempengaruhi keberhasilan kawin suntik. Air yang bersih dan
kaya oksigen terutama dibutuhkan untuk menetaskan telur menjadi benih.
Sumber
daya listrik juga merupakan faktor penting yang turut mempengaruhi keberhasilan
kegiatan kawin suntik. Sarana ini terutama dibutuhkan pada pembenihan yang
mangandalkan blower dan heater untuk membantu proses penetasan telur dan
perawatan larva.
v
Teknik Penyuntikan
Teknik
penyuntikan dibagi menjadi tiga yaitu sebagai berikut.
a. Intra
muscular (penyuntikan ke dalam otot)
b. Intra
peritonial (penyuntikan pada rongga perut)
c.
Intra cranial (penyuntikan pada rongga otak melalui
tulang occipital bagian yang tipis)
Dari
ketiga teknik penyuntikan tersebut yang paling umum dan paling mudah dilakukan
adalah secara intra muscular. Penyuntikan secara intra muscular dilakukan pada
punggung, yakni di bagian otot yang paling tebal. Pada ikan lele penyuntikan
dilakukan pada ujung depan sirip punggung 1 cm ke samping kiri atau kanan. Dan
bila dilakukan pada ikan bersisik seperti tawes, ikan mas, dan sebagainya,
penyuntikan dilakukan pada 3-4 sisik ke bawah.
Teknik
penyuntikan dilakukan dengan arah jarum suntik membuat sudut 60o dari
ekor dan jarum dimasukkan sedalam kurang lebih 1,5 cm. Pada saat dilakukan
penyuntikan sebaiknya ikan dibungkus dengan handuk agar tidak lepas. Pada ikan
yang besar biasanya penyuntikan dilakukan oleh dua orang, yakni orang pertama
memegang ekor dan kepala, sedangkan orang kedua menyuntikannya.
Ikan
yang telah disuntik dimasukkan dalam bak dan mendapatkan air mengalir yang
cukup sehingga cukup mendapatkan oksigen atau dengan menggunakan aerator.
Sedangkan dosis penyuntikan disesuaikan dengan ukuran serta species ikan
resipient. Adapun syarat dan resipient adalah matang telur bagi yang betina dan
matang sperma bagi yang jantan (Susanto, 1997).
Adapun alat dan bahan yang digunakan
yaitu:
§
Kantong
plastik atau karung
§
Serok
§
Baskom
§
Handuk
§
Bulu
ayam
§
Spuit
dan jarum suntik
§
Blower
§
Corong
penetasan atau akuarium
§
Induk
jelawat matang gonad
§
Hormon
ovaprim
§ NaCl
Sedangkan metode pemijahannya adalah
sebagai berikut:
§
Untuk
merangsang ovulasi induk disuntik dengan hormon perangsang berupa ovaprim
dengan dosis 0,7 cc/kg induk untuk induk betina dan 0,5 cc/ekor pada induk
jantan. Dalam setiap penyuntikan, hormon ovaprim diencerkan dengan aquabides
0,5 cc.

Gambar 4. Proses
Penyuntikan Hormon Ovaprim Pada Induk
§
Penyuntikan
pada induk betina dilakukan sebanyak 3 kali dengan interval waktu:
ü
Penyuntikan
I ke penyuntikan II selama 12 jam
ü
Penyuntikan
II ke penyuntikan III selama 6 jam
§
Dosis
hormon pada penyuntikan I ¼ dari total dosis dan penyuntikan II ½ dari total
dosis dan penyuntikan III ¼ dari total dosis.
§
Penyuntikan
induk jantan bersamaan penyuntikan II pada induk betina.
§
Setelah
penyuntikan III induk betina, dilakukan pengambilan sperma induk jantan dengan
menggunakan spuit yang dibasahi dengan larutan Natrium Klorida (NaCl). Sperma
disimpan di tempat yang dingin.

Gambar 5. Striping
Sperma Pada Induk Jantan
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam
melakukan stripping adalah sebagai berikut.
1 Ikan
(induk) harus diperlakukan secara hati-hati dan lembut
1 Pergunakanlah
alat tangkap yang halus (tidak kasar)
1 Wadah
atau tempat penampungan telur/sperma dan bulu ayam sebaiknya disterilkan
terlebih dahulu dengan menggunakan alkohol
1 Tempat
penetasan telur harus disiapkan terlebih dahulu dengan baik
1 Pengadukan
telur dan sperma harus benar-benar merata
§
2-6
jam setelah penyuntikan terakhir pengaruh kerja hormonal biasanya mulai
terlihat. Setelah itu dapat segera dilakukan pemeriksaan terhadap induk betina,
bila sudah ovulasi ditandai dengan gerakan gelisah dan sering berenang ke
permukaan.
§
Telur
dikeluarkan dengan cara mengurut perut betina dan ditampung di dalam wadah
(baskom) diikuti dengan pencampuran sperma yang telah disiapkan.

Gambar 6. Striping
Telur Pada Induk Betina
§
Kemudian
diaduk secara merata menggunakan bulu ayam.

Gambar 7.
Pengadukan Telur dan Sperma
§ Setelah merata telur dicuci atau dibilas
dengan air bersih 3-4 kali untuk menghilangkan kotoran dan sisa-sisa lemak yang
bisa mengganggu proses penetasan telur.
F.
Penetasan Telur
Telur ditetaskan di dalam akuarium
yang telah disiapkan. Dalam penetasan telur, telur harus terus menerus melayang
dan tidak menumpuk di dasar. Hal ini dapat dilakukan dengan sistem aerasi. Pada
kondisi normal dan kualitas induk cukup baik, jumlah telur yang dikeluarkan
berkisar 29.000-44.000 butir telur/kg induk.

Gambar 8. Tempat
Penetasan Telur
Titik kritis perkembangan embrio 5-6 jam setelah
ovulasi. Telur yang baik berwarna hijau cerah dan terlihat berbentuk topi
sedangkan yang mati berwarna putih. Dalam kondisi normal tingkat pembuahan
telur sekitar 80% dan tingkat penetasan sekitar 70%. Pada suhu normal 26-28 oC
teur akan menetas dalam waktu 15-24 jam. Panen larva dapat dilakukan setelah
berumur 1-2 hari untuk kemudian dipelihara di akuarium atau bak lainnya
(Anonim, 2003).
G. Kualitas Air
Secara umum kualitas air dapat dilihat
dari 3 faktor yaitu faktor fisik, kimia dan biologi. Untuk keperluan budidaya
kualitas air merupakan suatu peubah (variabel) yang dapat mempengaruhi
pengelolaan, kelangsungan hidup dan pembenihan/produksi ikan.
Kualitas air meliputi faktor fisika, kimia
dan biologi yang biasanya dinyatakan dalam bentuk angka-angka yang diperoleh
dengan melakukan pengukuran terhadap beberapa parameter tertentu :
1. Suhu
Suhu merupakan salah satu faktor yang sangat
menentukan terhadap proses kimia dan biologi. Suhu yang baik untuk kehidupan
ikan di daerah tropis berkisar antara 25-350C, namun kadang-kadang
suhu permukaan dapat mencapai 350C lebih sehingga berada diluar
batas toleransi untuk kehidupan ikan (Zonneveld, Huisman dan Boon 1991).
Menurut Anonim (2007), ikan jelawat dapat hidup pada suhu kisaran 23 – 31 oC.
2.
Oksigen Terlarut
Menurut Afrianto
dan Evi (1994), oksigen terlarut merupakan variabel kualitas air yang paling
mempengaruhi dalam budidaya ikan/udang. Meskipun beberapa jenis ikan dapat
bertahan pada perairan yang kandungan oksigen terlarut 3 ppm,
namun konsentrasi minimum yang masih dapat
diterima oleh sebagian ikan oleh sebagian besar ikan untuk
hidup dengan baik 5 ppm. Menurut Anonim (2007), ikan jelawat dapat hidup pada
DO > 3 ppm.
3.
Derajat Keasaman (pH)
Derajat keasaman (pH) singkatan dari
Puissince negatif of de H adalah
teori yang digunakan untuk menjelaskan sifat-sifat senyawa didalam air. Pada
umumnya pH yang cocok untuk semua jenis ikan berkisar antara 6,7-8,6 (Cholik
dan Rahmat, 1986). Menurut Anonim (2007), ikan jelawat dapat hidup pada pH
kisaran 6-7.
H. Pemeliharaan Larva dan Benih
Perawatan
larva merupakan hal yang penting dalam proses produksi benih ikan karena
tingkat mortalitasnya tinggi. Penelitian dalam bidang ini masih kurang walaupun
di laboratorium penggunaan thyroxin dan eltroxin telah menunjukkan produksi
yang baik dalam mempercepat perkembangan larva, tetapi belum dapat digunakan
secara praktis di lapangan.
Perawatan
larva termasuk pekerjaan yang rumit, sebab setelah telur menetas dan kemudian
embrio memasuki fase larva akan terjadi proses peralihan yang masih terbentuk
sangat primitif yaitu untuk menjadi definitif dengan cara metamorfosis.
Fase
larva ada dua macam yaitu pro-larva dan post-larva sehingga perawatannya pun
harus dibedakan antara kedua hal tersebut .
a.
Perawatan Pro-Larva
Fase
pro-larva ditandai dengan adanya kuning telur dalam kantongnya. Dalam hal ini
larva tidak memerlukan makanan tambahan dari luar tubuh, sehingga dalam
perawatannya diperlukan perhatian yang khusus terhadap kesehatan larva ataupun
kualitas airnya.
Kesehatan
larva dapat dipantau dengan mendeteksi ada dan tidaknya hama ataupun penyakit sehingga dapat
dilakukan upaya pencegahan. Agar kualitas airnya baik maka perlu menjaga
parameter-parameter kualitas air untuk selalu dalam keadaan optimal (Kristanto,
1994).
b.
Perawatan Post-Larva
Fase post-larva ditandai
dengan menghilangnya kantong kuning telur dan timbul lipatan sirip serta bintik
pigmen. Pada fase ini larva sudah memerlukan pakan tambahan dari luar tubuhnya
untuk mempertahankan hidupnya dan pertumbuhannya. Agar mortalitas dapat ditekan
seminimal mungkin maka harus diketahui kapan larva memerlukan pakan dan jenis
pakan serta dosis pemberian yang tepat (Kristanto, 1994).
Pemeliharaan
larva jelawat dilakukan di akuarium dengan ketinggian air 15-25 cm dan
kepadatan 80 ekor/liter selama 10-15 hari pemeliharaan. Setelah itu dijarangkan
menjadi 25-40 ekor/liter. Saat masih larva, organ pencernaan pada tubuhnya
masih belum sempurna. Jenis makanan yang terbaik diberikan pada kondisi
tersebut adalah makanan hidup atau alami seperti naupli artemia atau infusoria
sehingga bila terjadi kelebihan tidak mengotori media pemeliharaan.

Gambar 9.
Pemeliharaan Larva
Apabila terlihat ada kotoran dapat
dilakukan penyiphonan. Jumlah air yang terbuang setiap kali melakukan
penyiphonan tidak lebih dari 50% dan segera diganti dengan air yang baru.
Setelah 10-15 hari pemeliharaan larva selanjutnya dipindah ke kolam pendederan.

Gambar 10. Kolam
Pendederan
Sebelumnya kolam telah dilakukan pengolahan
tanah seperti penjemuran, pemupukan dan pengapuran. Pakan yang diberikan berupa
pellet berukuran kecil/tepung dengan dosis 10-30% dari bobot biomassa perhari.
Frekuensi pemberian pakan 3 kali sehari pada pagi, siang dan sore hari. Padat
penebaran 2500-5000 ekor/m3. Setelah 30 hari masa pemeliharaan
biasanya benih mencapai ukuran 2-3 cm dan bisa dipanen untuk disiapkan pada kegiatan
pembesaran (Kristanto, 1994).
IV. PENUTUP
1.
Ikan jelawat merupakan ikan asli perairan
Indonesia yang mempunyai nilai ekonomis tinggi dan digemari masyarakat sehingga
sangat potensial untuk dikembangkan.

2.
Dewasa
ini budidaya ikan jelawat masih terkendala oleh ketersediaan benih, karena
keperluan benihnya masih sangat tergantung dari hasil penangkapan di perairan.
Selain itu ketersediaannya juga bersifat musiman dan ukurannya tidak seragam
karena dapat mempengaruhi ukuran makanan yang disesuaikan dengan bukaan mulut
ikan.
3.
Untuk
mengatasi kendala pembenihan tersebut diperlukan penelitian untuk menguasai
teknologi pembenihannya. Dengan penguasaan teknologi pembenihan ini diharapkan
dapat diproduksi benih Ikan Jelawat secara massal dan berkesinambungan, sehingga
keperluan benih tidak lagi tergantung dari hasil penangkapan di alam yang
bersifat musiman
4.
Dalam
proses pemijahan buatan induk ikan jelawat digunakan hormon ovaprim yang
berguna untuk merangsang kerja hipothalamus dari ikan matang gonad untuk
mengeluarkan luteneizing hormon releasing hormon (LHRH) yang akan merangsang
kelenjar hifofisa untuk menghasilkan lebih banyak hormon gonadotropin yang
berperan untuk merangsang terjadinya pembuahan sel telur.
5.
Sel
telur yang sudah dibuahi akan mengalami masa inkubasi selama kurang lebih 24
jam untuk kemudian menetas menjadi larva. Larva akan berkembang dari pro larva,
post larva dan akhirnya menjadi benih. Pada umumnya perkembangan larva sampai
menjadi benih pada ikan memerlukan waktu kurang lebih 10 – 15 hari.
DAFTAR PUSTAKA

Angin,
Karyawan Perangin. 2003. Benih Ikan
Jambal Siam. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Anonim.
1998. Petunjuk Teknis Proyek Bantuan Penangkar Bibit Pertanian (Inpres Dati
II). Departemen Pertanian Sekretariat Jendral. Jakarta.
_______.
2003. Pembenihan Ikan Jelawat (Leptobarbus hoevenii) Secara Buatan. Departemen Kelautan dan
Perikanan. Direktorat Jendral Perikanan Budidaya. Loka Budidaya Air Tawar
Mandiangin. Kalimantan Selatan. Mandiangin.
_______.
2004. Pembenihan Ikan Jelawat (Leptobarbus hoeveni). Departemen
Perikanan dan Kelautan. Direktorat Jendral Perikanan Budidaya. Direktorat
Perbenihan. Kalimantan Barat.
_______.
2007. Pelatihan Pengelolaan dan
Pembenihan Ikan Jelawat (Leptobarbus
hoevenii). Balai Budidaya Air Tawar Mandiangin. Direktorat Jendral
Perikanan Budidaya. Departemen Kelautan dan Perikanan. Mandiangin.

Elliot. 1979. International
Center for Living Aquatic Resource Management. Consulting Services for
Development of Aquaculture and Fisheries.
Hardjamulia,
Atmaja. 1992. Informasi Teknologi
Budidaya Ikan Jelawat (Leptobarbus
hoeveni Blkr). Balai Penelitian Perikanan Air Tawar. Bogor.
Kiswaloejo,
Tjahjono. 2003. Keteknikan Budidaya Air
Tawar. Departemen Kelautan dan Perikanan. Pusat Pendidikan dan Pelatihan
Perikanan. Jakarta.
Kristanto,
Anang Hari. 1994. Nutrisi Pakan dan
Aplikasinya pada Pematangan Gonad Ikan Jelawat. Pelatihan Teknik Penyuluhan
Pertanian Lapangan Dinas Perikanan Dati I. Kalimantan Selatan.
_______.
1994. Pengelolaan Induk Ikan Jelawat.
Pelatihan Teknik Penyuluhan Pertanian Lapangan Dinas Perikanan Dati I.
Kalimantan Selatan.
_______.
1994. Perawatan Larva dan Post Larva Ikan
Jelawat. Pelatihan Teknik Penyuluhan Pertanian Lapangan Dinas Perikanan
Dati I. Kalimantan Selatan.

Schmittou,
H. R. 1991. Cage Culture A Method of Fish Production in Indonesia. FRDP,
Central Research Institute For Fisheries. Jakarta.
Susanto,
Heru. 1997. Teknik Kawin Suntik Ikan Ekonomis. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Sutisna,
Dedy Heryadi dan Ratno Sutarmanto. 1995. Pembenihan
Ikan Air Tawar. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Waynarovich,
E dan Horvath. 1980. Elementary Guide to Fish Culture in Nepal. Rome.
Woothon.
1979. Practical Manual for The Culture of Fisheries. Netherland.
Zonneveld,
N.H., Husman, E.A., dan Boon, J.H., 1991. Prinsip Budidaya Ikan. Garamedia
Pustaka Utama. Jakarta.
3 Komentar:
bagus materinya
saya minta untuk nambah materi tugas saya ya mas
Mohon informasi harga bibit ikan jelawat beserta ukurannya. reza_3ch4_pahlevi@yahoo.com
The Casinos Near Harrah's Casino And Springfield, MI - Mapy
The Casinos 의왕 출장샵 Near Harrah's Casino And 파주 출장마사지 Springfield, MI The casino is situated close to the hotel, and is 울산광역 출장마사지 about 1.2 mi 익산 출장안마 (1.6 km) away. The 남원 출장안마 casino
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda