Selasa, 01 April 2014

BUDIDAYA IKAN JELAWAT




 I.            PENDAHULUAN
            Jaminan penyediaan benih dalam kualitas dan kuantitas yang memadai merupakan salah satu syarat yang dapat menentukan keberhasilan budidaya ikan. Banyak jenis dan ragam ikan yang mempunyai nilai ekonomis telah dikembangkan baik ditingkat pembenihan atau pembesaran.
            Menurut Schmittou (1991), lebih dari 20.000 species ikan yang diketahui di dunia, hanya sekitar 20 sampai 25 spesies ikan saja yang dibudidayakan secara komersial untuk makanan manusia. Boleh jadi masih terdapat ratusan atau bahkan ribuan species yang sangat potensial untuk dibudidayakan akan tetapi masih belum diketahui teknologinya. Di Asia Tenggara species yang sudah umum dibudidayakan adalah Ikan Mas (Cyprinus carpio), Grass carp (Ctenopharyngodon idellus), Ikan Nila (Tilapia niloticus), Ikan Mujair (Tilapia mossambicus), Gourami (Osphronemus gouramy), Ikan Lele (Clarias macrocephalus), Silver carp (Hypopthalmichthys molitrix) dan Bighead carp (Aristichthys nobilis).
            Sedangkan di Indonesia menurut Anonim (1998), jenis-jenis ikan yang telah dibudidayakan secara komersial oleh masyarakat adalah ikan mas, ikan nila, ikan lele, ikan gurami, udang dan patin. Kalau memperhatikan jenis-jenis ikan budidaya tersebut maka ikan jelawat masih belum termasuk ikan budidaya yang diusahakan secara komersial.
            Ikan jelawat (Leptobarbus hoeveni Blkr) merupakan ikan asli perairan Indonesia terutama terdapat di sungai, danau dan perairan umum lainnya di Kalimantan dan Sumatera. Permintaan pasar terhadap ikan ini cukup tinggi dan mempunyai nilai ekonomis tinggi dan sangat digemari oleh masyarakat dan dibeberapa negara tetangga seperti Malaysia dan Brunei, sehingga merupakan komoditas yang sangat potensial dan mendorong minat masyarakat untuk mengembangkannya. Terlebih lagi produksi ikan yang lebih mengandalkan hasil penangkapan perairan umum cenderung labil dan sudah ada kecendrungan di beberapa tempat terjadi penurunan.
            Meskipun telah lama berkembang dan pemeliharaan ikan jelawat cukup memasyarakat, namun benih ikan sebagai faktor produksi utama sementara ini lebih mengandalkan dari hasil penangkapan di alam. Di alamnya ikan ini berkembang biak di sungai pada permulaan musim penghujan, yang berarti pasokan benih tersedia secara musiman. Sedangkan benih dari hasil budidaya masih terbatas jumlahnya sehingga belum bisa memenuhi kebutuhan benih yang terus meningkat.
            Masalah yang pokok dari budidaya ikan jelawat ini adalah teknologi pembenihannya yang masih belum diketahui. Jika teknologi pembenihannya bisa dikuasai maka budidaya ikan jelawat akan dapat menjadi salah satu alternatif budidaya ikan di Indonesia. Seperti telah disinggung diatas permintaan pasar terhadap ikan jelawat ini cukup besar, mempunyai nilai ekonomis yang tinggi dan sangat digemari oleh masyarakat termasuk dibeberapa negara tetangga seperti Malaysia dan Brunei. Karena itu ikan jelawat ini merupakan komoditas yang sangat potensial, yang akan segera mendorong minat masyarakat untuk mengembangkan budidayanya sebagai sebuah alternatif usaha jika benihnya bisa diproduksi secara massal dan berkesinambungan melalui penguasaan teknologi pembenihannya. Selain itu, dari penguasaan teknologi pembenihannya kita dapat sekaligus melakukan upaya pelestarian plasma nuftah ikan asli perairan Indonesia.


II.         ASPEK BIOLOGI
A.       Taksonomi
            Webert & Beauport (1981) di dalam Onadara dan Sunarno (1988) mengklasifikasikan ikan jelawat sebagai berikut:
Kingdom      : Animalia
Phylum         : Chordata
Subphylum   : Vertebrata
Kelas            : Pisces
Subkelas       : Teleotei
Ordo             : Ostariophysi
Subordo       : Cyprinoidae
Famili           : Cyprinidae
Subfamili      : Cyprinidae
Genus           : Leptobarbus
Spesies         : Leptobarbus hoeveni Blkr
            Sedangkan nama lokal di Jambi, Sumatera Selatan dan Lampung yaitu Lemak atau Klemak. Manjuhan di Kalimantan Tengah, Sultan di Malaysia dan Pla Ba di Thailand. Namun saat berukuran kecil antara 10-20 cm dinamakan Jelejar di Jambi, Sumatera Selatan dan Lampung. Nama dagang internasionalnya adalah hoven’s carp.
B.       Morfologi
            Dilihat dari segi morfologi bentuk tubuh ikan jelawat yang agak bulat dan memanjang, mencerminkan bahwa ikan ini termasuk perenang cepat. Kepala sebelah atas agak mendatar, mulut berukuran sedang, garis literal tidak terputus, bagian punggung berwarna perak kehijauan dan bagian perut putih keperakan. Pada sirip dada dan perut terdapat warna merah, gurat sisi melengkung agak ke bawah dan berakhir pada bagian ekor bawah yang berwarna kemerah-merahan serta mempunyai 2 pasang sungut. Di alam ikan jelawat dapat mencapai berat 15 kg atau lebih perekornya (Anonim, 2004).
Gambar 1. Ikan Jelawat (Leptobarbus hoeveni Blkr)
C.       Habitat
            Dijelaskan oleh Atmaja Hardjamulia (1992), ikan jelawat banyak ditemui di muara-muara sungai dan daerah genangan air kawasan tengah hingga hilir. Habitat yang disukainya adalah anak-anak sungai yang berlubuk dan berhutan di bagian pinggirnya. Untuk anakannya banyak dijumpai di daerah genangan, dari Daerah Aliran Sungai (DAS). Saat air menyusut, anakan ikan jelawat secara bergeromol beruaya ke arah bagian hulu dari sungai.
            Di Indonesia ikan jelawat tersebar di perairan-perairan sungai dan daerah genangan atau rawa di Kalimantan dan Sumatera. Penyebarannya juga merata di kawasan Asia Tenggara seperti Vietnam, Thailand, Malaysia dan Kamboja.
D.       Pakan dan Kebiasaan Makan
            Secara umum ikan jelawat bersifat omnivora atau pemakan segala. Namun sebenarnya ia lebih cenderung herbivora. Vaas, Sachlan dan Wirraatmaja dalam Atmaja Hardjamulia (1992) menyebutkan, di dalam usus ditemukan biji-bijian, buah-buahan dan tumbuhan air. Sedang di dalam usus benih jelawat ditemukan berbagai jenis plankton, algae dan larva serangga air.
            Dalam lingkungan pemeliharaan yang terkontrol, ikan jelawat juga menyantap makanan buatan berbentuk pellet. Bahkan mau memakan singkong, daun singkong dan usus ayam.
            Dari bentuk mulut dapat diketahui ikan jelawat menyenangi makanan yang melayang. Cara makannya dengan menyambar meski terkadang gerakannya dalam mengambil makanan agak lambat. Namun demikian jenis ikan ini biasa pula mengambil makanan yang berada di dasar perairan (Anonim, 2007).
E.       Tingkat Kematangan Gonad dan Reproduksi
            Salah satu faktor penunjang keberhasilan pemijahan adalah tersedianya induk yang matang gonad. Induk tersebut dapat diperoleh dengan dua cara, cara pertama ialah dengan menangkapnya di alam pada saat musim pemijahan. Cara kedua adalah dengan memelihara di kolam secara terkontrol. Cara pertama biasanya faktor keberhasilannya rendah. Hal tersebut disebabkan oleh pengaruh stress dari ikan, apalagi ikan jelawat bersifat agresif sehingga pada waktu ditangkap dapat menimbulkan kerusakan fisik (Hardjamulia, 1992).
            Beberapa persyaratan yang harus diperhatikan menyangkut kondisi induk ikan jelawat agar dapat dipijahkan dengan baik yaitu kematangan gonad dari ikan yang siap dipijahkan, biasanya mulai berumur 2,5 tahun, kondisi ikan sehat tanpa ada luka atau cacat. Biasanya induk ikan sudah siap dipijahkan setelah 3-6 bulan dalam kondisi pemeliharaan secara terkontrol dan intensif (Kristanto, 1994).


III.      METODE PEMBENIHAN
A.    Rancang Bangun
            Rancang bangun pembenihan ikan memerlukan beberapa pertimbangan, yaitu lokasi bangunan dan bentuk bangunan.
v  Pemilihan lokasi
            Dalam melakukan pemilihan lokasi haruslah memperhatikan faktor-faktor teknis maupun nonteknis seperti sosial ekonomis. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari kerugian akibat salah penilaian saat melakukan pemilihan lokasi, misalnya debit air tidak mencukupi saat musim kemarau atau mengalami kebanjiran saat musim penghujan (Anonim, 2007).
1.      Persyaratan lokasi perkolaman
            Untuk budidaya ikan, kolam mempunyai peranan yang sangat penting karena selain sebagai media pemeliharaan ikan juga sebagai media tumbuhnya pakan alami yang dibutuhkan ikan.
Beberapa persyaratan lokasi perkolaman meliputi:
-        Sumber air ; dekat dengan sungai, irigasi atau sumber air lainnya sehingga mendapat suplai air sepanjang tahun.
-        Kondisi tanah ; berpotensi menumbuhkan pakan alami yaitu tanah liat sedikit berpasir dan tidak poros.
-        Kedalaman air ; minimal kedalaman air 80-100 cm.
-        Lingkungan ; bebas dari pencemaran, dilengkapi dengan prasarana jalan, listrik, terjamin keamanan dan mudah untuk pemasaran hasil.
2.      Persyaratan lokasi di karamba
            Budidaya ikan sistem karamba bertitik tolak dari kurangnya lahan kolam untuk budidaya dan sekaligus sebagai upaya optimalisasi pemanfaatan perairan umum untuk usaha budidaya.
            Selain ditempatkan di sungai, karamba juga dapat ditempatkan di danau, waduk atau perairan umum lainnya. Akan tetapi tetap harus memperhatikan persyaratan lokasi agar menjamin usaha budidaya yang dilakukan dapat menguntungkan.
Persyaratan lokasi penempatan karamba yaitu:
-        Kondisi perairan
Perairan umum yang bebas dari pencemaran dan aman dari adanya kemungkinan banjir bandang yang bisa menghanyutkan karamba. Kedalaman air minimal 1 m saat surut terendah, cukup sinar matahari, arus air cukup deras atau mengalir dan terbebas dari gulma atau sampah.
-        Lingkungan
Mudah dalam transportasi, aman dari pencurian dan pemangsa ikan, dekat dengan pasar atau mudah dalam pemasaran hasil (Anonim, 2007).
-        Faktor sosial
Faktor sosial harus juga diperhatikan terutama di sekeliling bangunan         pembenihan ikan. Yang perlu diperhatikan adalah tingkat pendidikan masyarakat, pendapatan atau pekerjaan masyarakat dan status tanah (Angin, 2003).
v  Bentuk bangunan
Menurut Angin (2003), usaha pembenihan ikan membutuhkan beberapa macam bangunan yang masing-masing mempunyai fungsi yang berbeda-beda. Bangunan utama adalah bangunan yang khusus untuk kegiatan operasional pembenihan ikan. Bangunan utama terdiri atas bak penampungan air, bak penampungan induk, bak penetasan telur, bak pemeliharaan larva, bak pemeliharaan benih dan bak penyediaan pakan alami. Pada bangunan utama juga terdapat ruangan administrasi tempat pencatatan semua kegiatan operasional pembenihan ikan.
Bangunan utama harus ditata sedemikian rupa sehingga letak setiap bak teratur dan efisien dalam operasional kegiatan pembenihan. Berikut ini ada alternatif tata letak bangunan pembenihan ikan (Kiswaloejo, 2003).
Gambar 2. Tata Letak Bangunan Pembenihan Ikan (Hatchery)
a.       Bangunan penunjang, yakni bangunan yang mendukung kegiatan operasional. Bangunan ini terdiri atas bangunan laboratorium dan gudang. Bangunan laboratorium sebagai tempat pengamatan hama atau penyakit ikan dan analisis kualitas air. Alat-alat yang tersedia pada bangunan ini adalah alat bedah ikan, mikroskop, bahan kimia dan sebagainya. Gudang berfungsi untuk menyimpan peralatan kegiatan pembenihan ikan ikan seperti ember, hapa, selang, seser dan sebagainya.
b.      Bak penampungan air, yakni bak untuk menampung air bersih. Selama kegiatan pembenihan ikan, air bersih harus tersedia. Bak penampungan air dapat terbuat dari bak semen atau fiberglas. Luas bak penampungan air disesuaikan dengan kebutuhan. Bak penampungan air ditempatkan sedimikian rupa sehingga memudahkan pengoperasian. Bak penampungan induk berfungsi untuk menampung induk yang akan dipijahkan.
c.       Bak penetasan, yakni bak yang berfungsi untuk menetaskan telur ikan jelawat. Penetasan telur yang terbuat dari akuarium lebih menghemat tempat karena dapat disusun secara bertingkat. Bak penetasan telur dapat dijadikan sekaligus sebagai tempat pemeliharaan larva ikan jelawat.
d.      Bak pemeliharaan benih, yakni bak yang digunakan untuk pemeliharaan ikan jelawat. Bak pemeliharaan benih biasanya terbuat dari semen atau fiberglass. Bak pemeliharaan benih dapat dibuat dengan ukuran tinggi 0,3 m, lebar 1 m dan panjang 2 m atau tergantung pada kebutuhan. Jumlah bak pemeliharaan benih perlu didesain dengan baik agar rotasi kegiatan pembenihan dapat berjalan secara terus-menerus. Setiap ukuran benih ikan jelawat ditempatkan pada bak tersendiri.
e.       Bak pakan alami, yakni bak yang berfungsi untuk budidaya pakan alami. Bak pakan alami ini terdiri atas corong penetasan artemia. Corong penetasan artemia terbuat dari plastik atau fiberglas. Bentuk corong penetasan artemia adalah trapesium dan bagian bawah corong dipasangi keran.
B.     Penyediaan Induk
            Keberhasilan pengembangan budidaya ikan sangat ditentukan antara lain oleh pasok benih baik dari segi kualitasnya maupun kuantitasnya. Sedangkan kualitas benih dipengaruhi oleh kualitas induk (faktor genetis) dan faktor lingkungan, seperti kualitas air, makanan, penyakit dan parasit.
            Peningkatan kualitas induk melalui peningkatan sifat genetis dapat dilakukan melalui seleksi calon-calon induk. Di samping itu, pengelolaan induk dalam suatu usaha pembenihan (BBI atau hatchery) sangat menentukan mutu benih yang dihasilkan, antara lain menyebabkan silang dalam (in breeding) yang menghasilkan keturunan yang rendah kualitasnya, terutama pertumbuhan yang lambat (Hardjamulia, 1988). Akibat silang dalam produksi dapat menurun sampai 10-20 %.
            Penyediaan induk dapat dilakukan dengan cara seleksi terhadap stok induk yang ada, menangkap dari alam dan membekali dari tempat lain atau impor, dan dengan cara gynogenesis.
            Untuk calon induk jelawat dapat diperoleh dari hasil tangkapan di alam atau dari hasil pembesaran di kolam atau karamba. Pada kondisi pemeliharaan secara tradisional atau hasil tangkapan di alam bobot calon induk lebih dari 1,5 kg diperkirakan mempunyai umur sekitar 3 tahun. Akan lebih baik jika calon induk yang dipilih dari hasil pembesaran karena sudah terbiasa dengan kondisi makanan dari luar dalam lingkungan yang terkontrol dan biasanya lebih jinak. Calon induk minimal mempunyai berat 2,5 kg untuk betina dan 1,5 kg untuk jantan atau berumur minimal 2,5 tahun (Kristanto, 1994).
C.    Pematangan Gonad
            Untuk proses pematangan gonad pada ikan perlu diadakan pengelolaan induk.  Pengelolaan induk adalah pemeliharaan induk secara intensif agar menghasilkan benih sesuai dengan permintaan pasar. Pengelolaan induk di antara para petani sangat bervariasi, bergantung dari pengetahuan, pengalaman, dan sosial ekonomi mereka (Hardjamulja, 1975).
            Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan induk, yaitu kualitas air, wadah pemeliharaan, padat penebaran, kualitas dan jumlah makanan.
1.      Kualitas Air
            Hasil penelitian tentang pengaruh kualitas air terhadap kualitas induk (fekunditas dan kualitas telur) masih langka. Hasil penelitian yang ada hanya mengenai pengaruh oksigen terhadap jumlah telur yang diproduksi. Induk yang dipelihara dalam konsentrasi oksigen 5 mg/l menghasilkan jumlah telur dan frekuensi pemijahan tinggi (Hardjamulja, 1987).
2.      Wadah Pemeliharaan
            Calon induk dapat dipelihara di dalam kolam biasa, kolam air deras, bak, jaring terapung dan karamba. Calon induk jelawat dapat dipelihara di kolam permanen atau semi permanen dengan kedalaman air berkisar antara 70-100 cm dengan sistem air mengalir dan di karamba.
3.      Padat Penebaran
            Padat penebaran tergantung dari jenis ikan, kualitas air dan makanan yang tersedia. Pada cara tradisional yang ekstensif, baik untuk jenis-jenis ikan asli maupun introduksi, padat penebaran berkisar antara 10-20 ekor induk (Hardjamulja, 1980).
            Padat penebaran yang ideal untuk calon induk jelawat yang dipelihara di kolam adalah 1 ekor/10 m2. Sedangkan pemeliharaan calon induk di karamba tingkat kepadatan 1-2 ekor/m2.
4.      Kualitas dan Jumlah Makanan
            Jumlah makanan yang cukup dengan mutu yang baik merupakan pakan faktor yang paling penting untuk memproduksi induk yang memiliki kualitas prima. Defisiensi nutrien esensial terutama asam amino, vitamin, dan mineral menyebabkan perkembangan telur terhambat dan akhirnya terjadi kegagalan ovulasi (Waynarovich dan Horvath, 1980). Pertumbuhan gonad terjadi jika terdapat kelebihan energi untuk pemeliharaan tubuh (Elliot, 1979). Sedangkan kekurangan energi dapat meningkatkan oosit yang mengalami atresia sehingga mernpunyai oosit yang matang (Wootton, 1979).
            Pakan yang diberikan berupa pakan pellet dengan kandungan protein 25-28 % dan dosis 3-5 % dari bobot biomassa dengan frekuensi pemberian pakan 3 kali sehari, yaitu diberikan pada pagi, siang dan sore hari (Kristanto, 1994).
D.    Seleksi Induk
            Tujuan dari seleksi induk adalah untuk mendapatkan induk yang mempunyai produktivitas tinggi dengan ciri morfologi yang dikehendaki dan dapat diturunkan. Produktivitas yang tinggi ini terutama dicirikan oleh sifat cepat tumbuh dan kelangsungan hidup yang tinggi pada lingkungan budidaya tertentu (kolam tradisional, kolam air deras, jaring terapung dan sebagainya dengan ciri lingkungan, khususnya kualitas air yang berbeda). Ada dua metode seleksi induk, yaitu seleksi masa dan seleksi famili (Sutisna dan Ratno, 1995).
1.      Seleksi Masa
            Seleksi masa ataupun seleksi individu merupakan seleksi buatan terhadap keturunan hasil pemijahan induk-induk yang mempunyai fenotipe yang terbaik (Kirpichnikov, 1981). Sifat-sifat yang diseleksi meliputi bobot atau ukuran, keragaman luar, pigmentasi, keadaan sisik, tidak cacat, ketahanan terhadap lingkungan dari penyakit, jumlah tulang dalam otot, ukuran gelembung renang, dan lain-lain. Kemungkinan kesalahan dalam memperoleh sifat yang diharapkan sungguh besar karena genotipe dari ikan yang diseleksi atau yang tidak diseleksi tidak diketahui.
2.      Seleksi Famili
            Seleksi ini dilakukan untuk memperoleh beberapa famili yang merupakan keturunan dari pasangan-pasangan induk atau kelompok pasangan dalam jumlah kecil (misalnya satu betina dengan beberapa jantan) yang merupakan hasil seleksi terbaik dari sifat-sifat yang dikehendaki.
            Biasanya induk ikan jelawat sudah siap dipijahkan setelah 3-6 bulan dalam kondisi pemeliharaan secara terkontrol dan intensif. Penangkapan induk dilakukan dengan menurunkan permukaan air hingga sebatas punggung ikan. Dengan cara ini induk relatif lebih tenang dan tidak agresif sehingga mudah untuk dilakukan pemeriksaan gonad.
            Ciri-ciri induk yang matang gonad adalah sebagai berikut.
§  Betina: 
ü  Perut membesar dan lembut
ü  Lubang urogenital berwarna kemerahan
ü  Sirip dada halus dan licin
§  Jantan:
ü  Perut langsing
ü  Apabila diurut akan keluar cairan putih (sperma)
ü  Sirip dada terasa lebih kasar bila diraba (Anonim, 2004).


Gambar 3. Induk Betina Matang Gonad
            Induk matang gonad hasil seleksi ditimbang untuk mengetahui beratnya, sehingga dosis hormon dalam penyuntikan dapat ditentukan. Induk kemudian ditampung dalam bak berukuran 1 x 1 m untuk proses penyuntikan.
E.     Pemijahan
            Pemijahan adalah proses pengeluaran sel telur oleh induk betina dan sperma oleh induk jantan yang kemudian diikuti dengan perkawinan. Pemijahan sebagai salah satu pacet dari reproduksi merupakan mata rantai siklus hidup yang menentukan kelangsungan hidup species. Penambahan populasi ikan tergantung dari kondisi tempat telur dan larva ikan kelak akan berkembang. OIeh karena itu, pemijahan menuntut keamanan bagi kelangsungan hidup larva/benih ikan, tempat yang cocok, waktu yang tepat dan kondisi yang lebih menguntungkan.
            Pemijahan tiap species ikan mempunyai kebiasaan yang berbeda, tergantung pada habitat dan pemijahan itu untuk melangsungkan prosesnya. Dalam keadaan normal ikan melangsungkan pemijahan minimum satu kali dalam satu siklus hidupnya.
            Di habitatnya di alam, ikan jelawat biasanya melakukan pemijahan pada musim penghujan, yaitu saat air naik dan menggenangi daerah sekitarnya. Dalam kondisi demikian, secara bergerombol ikan jelawat beruaya ke arah muara sungai. Di bagian muara sungai tersebut pemijahan terjadi biasanya pagi hari diiringi rintikan air hujan.
            Selama musim penghujan ikan jelawat mampu memijah 2-3 kali pemijahan. Telur ikan jelawat bersifat melayang. Telur yang dibuahi tersebut dibawa arus ke bagian hilir dan menetas dalam perjalanan tersebut. Telur yang menetas dan menjadi larva tersebut memasuki perairan atau daerah genangan yang berada disepanjang sungai tersebut.
            Pemijahan ikan jelawat dilakukan secara buatan (Induced Breeding). Pemijahan ikan dengan rangsangan hormon pada umumnya dilakukan terhadap jenis ikan yang tidak bisa memijah secara alami. Hal ini disebabkan oleh kondisi lingkungan tidak cukup untuk merangsang kerja hipothalamus dari ikan matang gonad untuk mengeluarkan luteneizing hormon releasing hormon (LHRH) yang akan merangsang kelenjar hifofisa untuk menghasilkan lebih banyak gonadotropin. Oleh karena itu pemijahan secara terkontrol membutuhkan penambahan hormon gonadotropin dari luar melalui penyuntikan.
v  Penguasaan Teknik Kawin Suntik
            Menurut Susanto (1997), penguasaan teknik kawin suntik akan mempengaruhi keberhasilan kegiatan pemijahan ini. Meskipun resipien telah siap dan peralatan lengkap, tetapi jika tidak didukung teknik penguasaan teknik pelakunya maka keberhasilan kawin suntik masih diragukan. Penguasaan teknik kawin suntik ini meliputi beberapa keterampilan berikut.
a.       Teknik memilih induk
b.      Teknik menghitung dosis
c.       Teknik menyuntik
d.      Teknik melakukan stripping
            Dukungan lingkungan seperti tersedianya air bersih yang berkualitas baik dan jumlah yang cukup juga akan mempengaruhi keberhasilan kawin suntik. Air yang bersih dan kaya oksigen terutama dibutuhkan untuk menetaskan telur menjadi benih.
            Sumber daya listrik juga merupakan faktor penting yang turut mempengaruhi keberhasilan kegiatan kawin suntik. Sarana ini terutama dibutuhkan pada pembenihan yang mangandalkan blower dan heater untuk membantu proses penetasan telur dan perawatan larva.
v  Teknik Penyuntikan
            Teknik penyuntikan dibagi menjadi tiga yaitu sebagai berikut.
a.       Intra muscular (penyuntikan ke dalam otot)
b.      Intra peritonial (penyuntikan pada rongga perut)
c.       Intra cranial (penyuntikan pada rongga otak melalui tulang occipital bagian yang tipis)
            Dari ketiga teknik penyuntikan tersebut yang paling umum dan paling mudah dilakukan adalah secara intra muscular. Penyuntikan secara intra muscular dilakukan pada punggung, yakni di bagian otot yang paling tebal. Pada ikan lele penyuntikan dilakukan pada ujung depan sirip punggung 1 cm ke samping kiri atau kanan. Dan bila dilakukan pada ikan bersisik seperti tawes, ikan mas, dan sebagainya, penyuntikan dilakukan pada 3-4 sisik ke bawah.
            Teknik penyuntikan dilakukan dengan arah jarum suntik membuat sudut 60o dari ekor dan jarum dimasukkan sedalam kurang lebih 1,5 cm. Pada saat dilakukan penyuntikan sebaiknya ikan dibungkus dengan handuk agar tidak lepas. Pada ikan yang besar biasanya penyuntikan dilakukan oleh dua orang, yakni orang pertama memegang ekor dan kepala, sedangkan orang kedua menyuntikannya.
            Ikan yang telah disuntik dimasukkan dalam bak dan mendapatkan air mengalir yang cukup sehingga cukup mendapatkan oksigen atau dengan menggunakan aerator. Sedangkan dosis penyuntikan disesuaikan dengan ukuran serta species ikan resipient. Adapun syarat dan resipient adalah matang telur bagi yang betina dan matang sperma bagi yang jantan (Susanto, 1997).
            Adapun alat dan bahan yang digunakan yaitu:
§  Kantong plastik atau karung
§  Serok
§  Baskom
§  Handuk
§  Bulu ayam
§  Spuit dan jarum suntik
§  Blower
§  Corong penetasan atau akuarium
§  Induk jelawat matang gonad
§  Hormon ovaprim
§  NaCl
            Sedangkan metode pemijahannya adalah sebagai berikut:
§  Untuk merangsang ovulasi induk disuntik dengan hormon perangsang berupa ovaprim dengan dosis 0,7 cc/kg induk untuk induk betina dan 0,5 cc/ekor pada induk jantan. Dalam setiap penyuntikan, hormon ovaprim diencerkan dengan aquabides 0,5 cc.
Gambar 4. Proses Penyuntikan Hormon Ovaprim Pada Induk
§  Penyuntikan pada induk betina dilakukan sebanyak 3 kali dengan interval waktu:
ü  Penyuntikan I ke penyuntikan II selama 12 jam
ü  Penyuntikan II ke penyuntikan III selama 6 jam
§  Dosis hormon pada penyuntikan I ¼ dari total dosis dan penyuntikan II ½ dari total dosis dan penyuntikan III ¼ dari total dosis.
§  Penyuntikan induk jantan bersamaan penyuntikan II pada induk betina.
§  Setelah penyuntikan III induk betina, dilakukan pengambilan sperma induk jantan dengan menggunakan spuit yang dibasahi dengan larutan Natrium Klorida (NaCl). Sperma disimpan di tempat yang dingin.
Gambar 5. Striping Sperma Pada Induk Jantan
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan stripping adalah sebagai berikut.
1  Ikan (induk) harus diperlakukan secara hati-hati dan lembut
1  Pergunakanlah alat tangkap yang halus (tidak kasar)
1  Wadah atau tempat penampungan telur/sperma dan bulu ayam sebaiknya disterilkan terlebih dahulu dengan menggunakan alkohol
1  Tempat penetasan telur harus disiapkan terlebih dahulu dengan baik
1  Pengadukan telur dan sperma harus benar-benar merata
§  2-6 jam setelah penyuntikan terakhir pengaruh kerja hormonal biasanya mulai terlihat. Setelah itu dapat segera dilakukan pemeriksaan terhadap induk betina, bila sudah ovulasi ditandai dengan gerakan gelisah dan sering berenang ke permukaan.
§  Telur dikeluarkan dengan cara mengurut perut betina dan ditampung di dalam wadah (baskom) diikuti dengan pencampuran sperma yang telah disiapkan.
Gambar 6. Striping Telur Pada Induk Betina
§  Kemudian diaduk secara merata menggunakan bulu ayam.
Gambar 7. Pengadukan Telur dan Sperma
§  Setelah merata telur dicuci atau dibilas dengan air bersih 3-4 kali untuk menghilangkan kotoran dan sisa-sisa lemak yang bisa mengganggu proses penetasan telur.
F.     Penetasan Telur
            Telur ditetaskan di dalam akuarium yang telah disiapkan. Dalam penetasan telur, telur harus terus menerus melayang dan tidak menumpuk di dasar. Hal ini dapat dilakukan dengan sistem aerasi. Pada kondisi normal dan kualitas induk cukup baik, jumlah telur yang dikeluarkan berkisar 29.000-44.000 butir telur/kg induk.
Gambar 8. Tempat Penetasan Telur
Titik kritis perkembangan embrio 5-6 jam setelah ovulasi. Telur yang baik berwarna hijau cerah dan terlihat berbentuk topi sedangkan yang mati berwarna putih. Dalam kondisi normal tingkat pembuahan telur sekitar 80% dan tingkat penetasan sekitar 70%. Pada suhu normal 26-28 oC teur akan menetas dalam waktu 15-24 jam. Panen larva dapat dilakukan setelah berumur 1-2 hari untuk kemudian dipelihara di akuarium atau bak lainnya (Anonim, 2003).
G.    Kualitas Air
Secara umum kualitas air dapat dilihat dari 3 faktor yaitu faktor fisik, kimia dan biologi. Untuk keperluan budidaya kualitas air merupakan suatu peubah (variabel) yang dapat mempengaruhi pengelolaan, kelangsungan hidup dan pembenihan/produksi ikan.
Kualitas air meliputi faktor fisika, kimia dan biologi yang biasanya dinyatakan dalam bentuk angka-angka yang diperoleh dengan melakukan pengukuran terhadap beberapa parameter tertentu :
1.      Suhu
Suhu merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan terhadap proses kimia dan biologi. Suhu yang baik untuk kehidupan ikan di daerah tropis berkisar antara 25-350C, namun kadang-kadang suhu permukaan dapat mencapai 350C lebih sehingga berada diluar batas toleransi untuk kehidupan ikan (Zonneveld, Huisman dan Boon 1991). Menurut Anonim (2007), ikan jelawat dapat hidup pada suhu kisaran 23 – 31 oC.
2.      Oksigen Terlarut
Menurut Afrianto dan Evi (1994), oksigen terlarut merupakan variabel kualitas air yang paling mempengaruhi dalam budidaya ikan/udang. Meskipun beberapa jenis ikan dapat bertahan pada perairan yang kandungan oksigen terlarut 3  ppm,  namun   konsentrasi  minimum yang   masih dapat  diterima  oleh  sebagian ikan oleh sebagian besar ikan untuk hidup dengan baik 5 ppm. Menurut Anonim (2007), ikan jelawat dapat hidup pada DO > 3 ppm.
3.      Derajat Keasaman (pH)
            Derajat keasaman (pH) singkatan dari Puissince negatif of de H adalah teori yang digunakan untuk menjelaskan sifat-sifat senyawa didalam air. Pada umumnya pH yang cocok untuk semua jenis ikan berkisar antara 6,7-8,6 (Cholik dan Rahmat, 1986). Menurut Anonim (2007), ikan jelawat dapat hidup pada pH kisaran 6-7.
H.    Pemeliharaan Larva dan Benih
            Perawatan larva merupakan hal yang penting dalam proses produksi benih ikan karena tingkat mortalitasnya tinggi. Penelitian dalam bidang ini masih kurang walaupun di laboratorium penggunaan thyroxin dan eltroxin telah menunjukkan produksi yang baik dalam mempercepat perkembangan larva, tetapi belum dapat digunakan secara praktis di lapangan.
            Perawatan larva termasuk pekerjaan yang rumit, sebab setelah telur menetas dan kemudian embrio memasuki fase larva akan terjadi proses peralihan yang masih terbentuk sangat primitif yaitu untuk menjadi definitif dengan cara metamorfosis.
            Fase larva ada dua macam yaitu pro-larva dan post-larva sehingga perawatannya pun harus dibedakan antara kedua hal tersebut .
a.       Perawatan Pro-Larva
            Fase pro-larva ditandai dengan adanya kuning telur dalam kantongnya. Dalam hal ini larva tidak memerlukan makanan tambahan dari luar tubuh, sehingga dalam perawatannya diperlukan perhatian yang khusus terhadap kesehatan larva ataupun kualitas airnya.
            Kesehatan larva dapat dipantau dengan mendeteksi ada dan tidaknya hama ataupun penyakit sehingga dapat dilakukan upaya pencegahan. Agar kualitas airnya baik maka perlu menjaga parameter-parameter kualitas air untuk selalu dalam keadaan optimal (Kristanto, 1994).
b.      Perawatan Post-Larva
Fase post-larva ditandai dengan menghilangnya kantong kuning telur dan timbul lipatan sirip serta bintik pigmen. Pada fase ini larva sudah memerlukan pakan tambahan dari luar tubuhnya untuk mempertahankan hidupnya dan pertumbuhannya. Agar mortalitas dapat ditekan seminimal mungkin maka harus diketahui kapan larva memerlukan pakan dan jenis pakan serta dosis pemberian yang tepat (Kristanto, 1994).
Pemeliharaan larva jelawat dilakukan di akuarium dengan ketinggian air 15-25 cm dan kepadatan 80 ekor/liter selama 10-15 hari pemeliharaan. Setelah itu dijarangkan menjadi 25-40 ekor/liter. Saat masih larva, organ pencernaan pada tubuhnya masih belum sempurna. Jenis makanan yang terbaik diberikan pada kondisi tersebut adalah makanan hidup atau alami seperti naupli artemia atau infusoria sehingga bila terjadi kelebihan tidak mengotori media pemeliharaan.
Gambar 9. Pemeliharaan Larva
            Apabila terlihat ada kotoran dapat dilakukan penyiphonan. Jumlah air yang terbuang setiap kali melakukan penyiphonan tidak lebih dari 50% dan segera diganti dengan air yang baru. Setelah 10-15 hari pemeliharaan larva selanjutnya dipindah ke kolam pendederan.
Gambar 10. Kolam Pendederan
Sebelumnya kolam telah dilakukan pengolahan tanah seperti penjemuran, pemupukan dan pengapuran. Pakan yang diberikan berupa pellet berukuran kecil/tepung dengan dosis 10-30% dari bobot biomassa perhari. Frekuensi pemberian pakan 3 kali sehari pada pagi, siang dan sore hari. Padat penebaran 2500-5000 ekor/m3. Setelah 30 hari masa pemeliharaan biasanya benih mencapai ukuran 2-3 cm dan bisa dipanen untuk disiapkan pada kegiatan pembesaran (Kristanto, 1994).


IV.      PENUTUP
1.      Ikan jelawat merupakan ikan asli perairan Indonesia yang mempunyai nilai ekonomis tinggi dan digemari masyarakat sehingga sangat potensial untuk dikembangkan.
2.      Dewasa ini budidaya ikan jelawat masih terkendala oleh ketersediaan benih, karena keperluan benihnya masih sangat tergantung dari hasil penangkapan di perairan. Selain itu ketersediaannya juga bersifat musiman dan ukurannya tidak seragam karena dapat mempengaruhi ukuran makanan yang disesuaikan dengan bukaan mulut ikan.
3.      Untuk mengatasi kendala pembenihan tersebut diperlukan penelitian untuk menguasai teknologi pembenihannya. Dengan penguasaan teknologi pembenihan ini diharapkan dapat diproduksi benih Ikan Jelawat secara massal dan berkesinambungan, sehingga keperluan benih tidak lagi tergantung dari hasil penangkapan di alam yang bersifat musiman
4.      Dalam proses pemijahan buatan induk ikan jelawat digunakan hormon ovaprim yang berguna untuk merangsang kerja hipothalamus dari ikan matang gonad untuk mengeluarkan luteneizing hormon releasing hormon (LHRH) yang akan merangsang kelenjar hifofisa untuk menghasilkan lebih banyak hormon gonadotropin yang berperan untuk merangsang terjadinya pembuahan sel telur.
5.      Sel telur yang sudah dibuahi akan mengalami masa inkubasi selama kurang lebih 24 jam untuk kemudian menetas menjadi larva. Larva akan berkembang dari pro larva, post larva dan akhirnya menjadi benih. Pada umumnya perkembangan larva sampai menjadi benih pada ikan memerlukan waktu kurang lebih 10 – 15 hari.


DAFTAR PUSTAKA
Afrianto, E., dan Evi Liviawaty, 1994. Pengendalian Hama dan Penyakit Ikan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Angin, Karyawan Perangin. 2003. Benih Ikan Jambal Siam. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Anonim. 1998. Petunjuk Teknis Proyek Bantuan Penangkar Bibit Pertanian (Inpres Dati II). Departemen Pertanian Sekretariat Jendral. Jakarta.

_______. 2003. Pembenihan Ikan Jelawat (Leptobarbus hoevenii) Secara Buatan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Direktorat Jendral Perikanan Budidaya. Loka Budidaya Air Tawar Mandiangin. Kalimantan Selatan. Mandiangin.

_______. 2004. Pembenihan Ikan Jelawat (Leptobarbus hoeveni). Departemen Perikanan dan Kelautan. Direktorat Jendral Perikanan Budidaya. Direktorat Perbenihan. Kalimantan Barat.

_______. 2007. Pelatihan Pengelolaan dan Pembenihan Ikan Jelawat (Leptobarbus hoevenii). Balai Budidaya Air Tawar Mandiangin. Direktorat Jendral Perikanan Budidaya. Departemen Kelautan dan Perikanan. Mandiangin.

Cholik, F., dan Rahmat,A., 1986. Manjemen kualitas Air Pada Kolam Budidaya Ikan. Direktorat Jenderal Perikanan Research Centre. Jakarta.

Elliot. 1979. International Center for Living Aquatic Resource Management. Consulting Services for Development of Aquaculture and Fisheries.

Hardjamulia, Atmaja. 1992. Informasi Teknologi Budidaya Ikan Jelawat (Leptobarbus hoeveni Blkr). Balai Penelitian Perikanan Air Tawar. Bogor.

Kiswaloejo, Tjahjono. 2003. Keteknikan Budidaya Air Tawar. Departemen Kelautan dan Perikanan. Pusat Pendidikan dan Pelatihan Perikanan. Jakarta.

Kristanto, Anang Hari. 1994. Nutrisi Pakan dan Aplikasinya pada Pematangan Gonad Ikan Jelawat. Pelatihan Teknik Penyuluhan Pertanian Lapangan Dinas Perikanan Dati I. Kalimantan Selatan.

_______. 1994. Pengelolaan Induk Ikan Jelawat. Pelatihan Teknik Penyuluhan Pertanian Lapangan Dinas Perikanan Dati I. Kalimantan Selatan.

_______. 1994. Perawatan Larva dan Post Larva Ikan Jelawat. Pelatihan Teknik Penyuluhan Pertanian Lapangan Dinas Perikanan Dati I. Kalimantan Selatan.

Onadara dan Sunarno. 1988. Upaya Pembenihan Ikan Jelawat (Leptobarbus hoeveni Blkr). Prosiding Seminar Nasional Ikan dan Udang. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Bekerjasama dengan Universitas Padjajaran. Bandung.

Schmittou, H. R. 1991. Cage Culture A Method of Fish Production in Indonesia. FRDP, Central Research Institute For Fisheries. Jakarta.

Susanto, Heru. 1997. Teknik Kawin Suntik Ikan Ekonomis. Penebar Swadaya. Jakarta.

Sutisna, Dedy Heryadi dan Ratno Sutarmanto. 1995. Pembenihan Ikan Air Tawar. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Waynarovich, E dan Horvath. 1980. Elementary Guide to Fish Culture in Nepal. Rome.

Woothon. 1979. Practical Manual for The Culture of Fisheries. Netherland.
Zonneveld, N.H., Husman, E.A., dan Boon, J.H., 1991. Prinsip Budidaya Ikan. Garamedia Pustaka Utama. Jakarta.

3 Komentar:

Pada 18 Maret 2016 pukul 07.24 , Blogger Unknown mengatakan...

bagus materinya
saya minta untuk nambah materi tugas saya ya mas

 
Pada 22 Maret 2017 pukul 03.49 , Blogger Unknown mengatakan...

Mohon informasi harga bibit ikan jelawat beserta ukurannya. reza_3ch4_pahlevi@yahoo.com

 
Pada 4 Maret 2022 pukul 11.47 , Blogger faegenfahs mengatakan...

The Casinos Near Harrah's Casino And Springfield, MI - Mapy
The Casinos 의왕 출장샵 Near Harrah's Casino And 파주 출장마사지 Springfield, MI The casino is situated close to the hotel, and is 울산광역 출장마사지 about 1.2 mi 익산 출장안마 (1.6 km) away. The 남원 출장안마 casino

 

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda